Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba'du
Berikut ini adalah untaian nasehat yang ditujukan kepada generasi muda Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang dituliskan dalam rangka andil dalam menunaikan kewajiban menasehati kaum muslimin, dan mendamaikan antara Ahlis Sunnah, sebagaimana yang dianjurkan dalam banyak dalil.
Yang mendorong saya merangkaikan nasehat ini, adalah fenomena yang dialami oleh banyak pemuda Ahlussunnah wal Jama'ah, di berbagai negri islam, dan bahkan di negri-negri non islam, yang dihuni oleh minoritas islam, yaitu berupa perpecahan yang besar. Perpecahan yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat dalam beberapa masalah ilmiyyah, dan sikap-sikap kongkrit dalam menghadapi sebagian orang yang berseberangan (pendapat). Fenomena ini telah menghambat laju perjuangan dakwah menuju Sunnah, dan bahkan menghalangi sebagian orang untuk mengikutinya. Padahal sebelumnya masyarakat umum diberbagai daerah dan negri, berbondong-bondong untuk mendalaminya.
Saya akan ringkaskan nasehat ini dalam beberapa poin berikut, dengan disertai harapan kepada Allah, agar melimpahkan kepadaku keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat kepada setiap orang muslim yang membacanya.
Pertama.
Adalah termasuk salah satu prinsip yang ditetapkan dalam agama Islam, bahwa setiap orang muslim sebelum ia menyibukkan dirinya dengan (kekurangan) orang lain, hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh, membenahi diri, berupaya merealisasikan keselamatan, dan menjauhkan segala hal yang akan menyebabkan kebinasaan terhadap dirinya.
Sebagaimana firman Allah
"Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran". [Al Ashr 1-3]
Allah memberitakan tentang orang-orang yang akan selamat dari kerugian, yaitu orang-orang yang terwujud pada dirinya perangai-perangai tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka merealisasikan pada diri mereka keimanan, dan amal sholeh terlebih dahulu, sebelum mereka mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. Sehingga ayat-ayat ini benar-benar telah menetapkan permasalahan ini.
Dan Allah sungguh telah mencela Bani Isra'il, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini, yaitu dengan berfirman
"Artinya : Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir?".[Al-Baqarah :44]
Oleh karena itu, hendaklah setiap pemuda senantiasa membenahi dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain, dan tatkala dirinya telah mencapai istiqomah (dalam kebaikan), kemudian ia menyatukan antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar telah meniti metode dan petunjuk ulama?salaf, dan Allah akan melimpahkan kemanfaatan dari (dakwah) nya. Dengan demikian mereka adalah para da'i menuju kepada Sunnah, melalui ucapan dan perilakunya. Dan sungguh demi Allah, metode ini merupakan kedudukan paling agung, yang bila seseorang telah berhasil mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada hari kiyamat.
Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata : "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" [Fush-Shilat :33]
Kedua.
Hendaknya diketahui, bahwa yang benar-benar dikatakan sebagai Ahlis Sunnah adalah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama islam, baik secara idiologi, ataupun perilaku.
Dan merupakan kekurang pahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis Sunnah , adalah orang yang merealisasikan Aqidah Ahlis Sunnah semata, tanpa memperdulikan segi perilaku, adab-adab yang sesuai dengan ajaran islam, dan menunaikan hak-hak sesama muslim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada akhir kitab Al-Aqidah Al Wasithiyyah berkata: " ...Kemudian mereka (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini: Saling memerintahkan dengan yang baik, dan melarang dari yang mungkar, sesuai yang diajarkan dalam syar'at. Mereka menganjurkan untuk menunaikan ibadah haji, berjihad, mendirikan sholat jum'at, sholat 'Ied, bersama para pemimpin, baik mereka adalah pemimpin yang baik (adil) ataupun pemimpin yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan sholat berjama'ah, menjalankan tanggung jawab memberikan nasehat kepada ummat"
Mereka juga senantiasa meyakini makna sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam :
"Artinya: Permisalan (peran) Seorang mukmin terhadap seorang mukmin lain, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya".
Tatkala ditimpa cobaan (kesusahan), mereka saling memerintahkan supaya menetapi kesabaran, dan tatkala mendapatkan kelapangan, saling memerintahkan untuk bersyukur, dan tatkala ditimpa takdir yang pahit, mereka saling memerintahkan untuk berlapang dada. Mereka senantiasa menyeru kepada akhlaq-akhlaq mulia, dan amal-amal terpuji. Mereka juga meyakini makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya: Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya"
Mereka senantiasa menganjurkan, agar engkau menyambung (hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi, berbuat baik kepada tetangga.
Mereka juga senantiasa melarang dari perangai berbangga diri, sombong, melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan atau tidak.
Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlaq terpuji dan mencegah dari akhlaq tercela.
Dan setiap hal yang mereka ucapkan dan lakukan, baik dari hal-hal tersebut diatas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti Al Kitab (Al Qur'an) dan Sunnah, dan jalan hidup mereka adalah agama islam yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam?
Ketiga.
Diantara tujuan agung yang dianjurkan agama islam (untuk dicapai), ialah ; menunjuki manusia untuk menganut agama ini, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tatkala beliau mengutus sahabat Ali ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar):
"Artinya :Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah" [HR Bukhory No: 4210, dan Muslim 2406].
Oleh sebab itu, orang-orang yang telah mendapat karunia dari Allah, berupa hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) Sunnah, hendaknya bersungguh-sungguh dalam mendakwahi orang yang masih tersesat dari Sunnah, atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan pintu hati mereka agar menerima kebenaran.
Hal itu dengan cara mendakwahi mereka dengan lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berbincang-bincang kepada Nabi Musa dan Harun :
"Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut" [Thaha : 43-44]
Hendaknya mereka memanggilnya dengan julukan-julukan yang sesuai dengan kedudukannya. Sebagaimana dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menulis surat kepada Hiraql, dengan bersabda:
"Artinya: Kepada Hiraqlius, Pemimpin Romawi"
Beliau juga memberikan kunyyah kepada Abdillah bin Saba dengan Abil Habbab
Dan hendaknya mereka juga senantiasa bersabar dalam menghadapi kekerasan sikap orang yang didakwahi, dan membalasnya dengan perilaku baik, dan janganlah menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran? Allah berfirman :
"Artinya: Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka"[Al-Ahqaaf : 35]
Keempat.
Hendaknya para pelajar (Tholabatul Ilmi), terutama para da'i, dapat membedakan antara Al Mudarah dan Al Mudahanah. Karena Al Mudarah adalah suatu hal yang dianjurkan, yaitu : sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Lisanul Arab, bersikap Mudarah terhadap orang lain adalah dengan beramah-tamah kepada mereka, berhubungan dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak menjauh darimu. Sedangkan Al Mudahanah (menjilat) adalah sikap tercela, yaitu sikap (mengorbankan) agama, Allah berfirman :
"Artinya : Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). [Al Qolam : 9].
Al Hasan Al Bashry menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: "Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dihadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dihadapanmu" [Tafsir Al Baghowy 4/377].
Dengan demikian, orang yang bersikap mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun dari prinsip agamanya, sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.
Sungguh dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, merupakan figur paling baik akhlaqnya, dan paling lemah lembut terhadap umatnya, dan ini sebagai perwujudan sisi lemah lembut, dan ramah tamah dari perangai beliau. Di sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama, barang satupun, walau dihadapan siapapun, dan ini adalah perwujudan sisi keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama. Dan sisi perangai beliau ini sangat bertentangan dengan sikap mudahanah (menjilat).
Hendaknya para pelajar, memperhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan, bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain, dan berlemah lembut, sebagai tanda lemah dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Disaat yang lain, ada yang beranggapan bahwa: sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan, dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan, adalah bagian dari sikap ramah-tamah (Ar Rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini adalah, salah, dan tersesat dari kebenaran. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan dengan baik, karena kesalah pahaman pada permasalahan ini, sangat berbahaya, dan tiada yang dapat terlindung darinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah.
Kelima.
Seorang juru dakwah, dalam berdakwah kepada manusia, memiliki dua metode yang diajarkan dalam syari'at, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak dalil, yaitu: metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), dan metode hajer (memboikot/menjauhi) dan mengancam. Sehingga salah bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) kepada setiap orang.
Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka metode inilah yang disyari'atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari'atkan.
Kesimpulannya: Barang siapa yang menerapkan metode menarik simpati, terhadap orang yang selayaknya dihajer (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode hajer (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berlaku munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: (Syari'at) menghajer, berbeda-beda sejalan dengan perbedaan orang yang menerapkannya, dipandang dari kuat, tidaknya, dan sedikit, banyaknya jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajer (boikot) adalah menghardik orang yang dihajer (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat umum meninggalkan kesalahan tersebut.
Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap hajer (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah, dan sirna, maka pada saat itulah hajer (boikot) disyariatkan.
Akan tetapi bila orang yang diboikot, dan orang lainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajer (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian ini, tidak disyariatkan hajer (boikot).
Bahkan menarik simpati sebagian orang itu lebih berguna dibanding memboikotnya, dan memboikot sebagian lainnya, lebih berguna dibanding menarik simpatinya. Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik simpati sebagian orang, dan memboikot sebagian lainnya?
Yang demikian ini, sebagaimana halnya menghadapi musuh, kadang kala disyariatkan peperangan, dan kadang kala perdamaian, dan kadang kala dengan cara mengambil jizyah (upeti), semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.
Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya, tentang permasalahan ini, didasari oleh prinsip tersebut" [Majmu' Fatawa 28/206].
Beliau menjelaskan kesalahan orang yang menyama ratakan dalam menerapkan hajer (boikot) atau menarik simpati, tanpa memperhatikan prinsip tersebut diatas, dengan berkata: "Sesungguhnya sebagian orang menjadikan hal tersebut (hajer atau menarik simpati) sebagai suatu keumuman, sehingga mereka menghajer atau mengingkari orang yang tidak disyariatkan, tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja dikarenakan kesalahan ini, menyebabkannya meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, dan akibatnya ia melanggar hal-hal yang diharamkan.
[Majmu' Fatawa 28/213].