kejarlah ilmu setinggi langit

shoutbox


Minggu, 20 Maret 2011

Memandang Keindahan Islam

Islam adalah agama Allah ‘Azza wa Jalla yang sempurna dan penuh petunjuk. Tak satu agama pun yang diridhoi-Nya selain Islam. Kemulian, keindahan, keagungan dan segala sifat yang terpuji telah menjadi cahaya Islam yang tidak akan sirna hingga hari kiamat. Betapapun kebencian orang-orang yang anti terhadapnya, namun Islam tetaplah Islam, kemulian dan keagungannya akan tetap menghiasinya walaupun musuh-musuh Allah berusaha untuk memadamkan kemilaunya, walaupun orang-orang munâfiqûn tak kenal letih dan tiada kehabisan akal dalam mendatangkan makar di tengah kebesarannya, dan walaupun segelentir penganutnya –sadar maupun tak sadar- telah mencoreng dan merusak keindahannya di mata manusia.
Ingatlah bahwa Allah Jalla Jalâluhu telah menegaskan,

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (QS. Ash-Shof : 8-9)

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath : 28)

“Mereka (ornag-orang munâfiqûn) berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munâfiqûn : 8)

Dan patut untuk diketahui bahwa akan tetap ada dari ulamanya yang akan membela dan menampakkan kebenarannya hingga hari kiamat. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak diatas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka hingga datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu.” [1]

Dan ingatlah, akan tetap ada yang akan tampil dari ulamanya guna menjawab segala tuduhan, menepis segala syubhat (kerancuan, kesamaran) dan menghancurkan seluruh makar musuh-musuhnya. Sebagaimana dalam sabda Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu (agama) ini akan disandang -pada setiap generasi- oleh orang-orang adilnya. Mereka menepis darinya tahrîf (perubahan, pembelokan) orang-orang yang melampaui batas, jalan para pengekor kebatilan dan takwîl orang-orang jahil.” [2]

Untuk memandang sedikit dari keindahan Islam itu dan untuk menghirup semerbak kewangiannya, kami mengajak para pembaca untuk memperhatikan beberapa prinsip penting dalam syari’at Islam berikut ini.

[1] Hadits Mutawâtir. Riwayat Al-Bukhâri, Muslim dan selainnya. Dilihat takhrijnya dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 270, 1955-1962 karya Imam Al-Albâny rahimahullâh. Dinyatakan mutawâtir oleh Ibnu Taimiyah dan selainnya. Baca Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 151 karya Al-Kattâny.

[2] Diriwayatkan oleh sejumlah shahabat radhiyallâhu ‘anhum, dan ia adalah hadits yang kuat dari seluruh jalannya. Baca Bashâ`ir Dzawi Asy-Syaraf bi Marwiyyât Manhaj As-Salaf hal. 111-114 karya Salîm Al-Hilâly.

anjuran berbuat kebaikan dan peringatan bahaya berbuat kerusakan di muka bumi

Telah merupakan hal yang dimaklumi dari kaidah agama kita bahwa syari’at Islam ini datang untuk mewujudkan segala mashlahat atau menyempurnakannya, menghilangkan segala madharat atau menguranginya. Hal ini adalah karakteristik Islam yang sangat agung dan penuh dengan keistimewaan.

Anjuran untuk berbuat perbaikan dan larangan dari berbuat kerusakan di muka bumi telah ditekankan dalam berbagai ayat, di antaranya adalah firman-Nya,

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’râf : 56)

“Dan janganlah kalian mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy-Syu’arô` : 151-152)

Menyeru manusia kepada prinsip ini adalah salah satu tugas para nabi dan rasul. Nabi Sholih ‘alaihissalâm menyeru kaumnya,

“Dan ingatlah olehmu di waktu Dia menjadikan kalian pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagi kalian di bumi. Kalian dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kalian pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 74)

Dan Nabi Syu’aib ‘alaihissalâm berkata kepada kaumnya,

“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Rabb bagi kalian selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian bukti yang nyata dari Rabb kalian. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kalian kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah diperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.” (QS. Al-A’râf : 85)

Dan Nabi Musa ‘alaihissalâm berpesan kepada saudaranya Nabi Harun ‘alaihissalâm,

“Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan buatlah perbaikan, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 142)

Dan orang-orang sholih di masa Nabi Musa mengingatkan Qârûn,

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash : 77)

Dan syari’at kita telah menerangkan bahwa berbuat kerusakan adalah akhlak orang-orang Yahudi, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,

“Dan mereka (orang-orang Yahudi) berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-Mâ`idah : 64)

Dan hal tersebut juga merupakan akhlak orang-orang munafiqîn,

“Dan bila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafiqîn), Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah : 11-12)

Syari’at Islam benar-benar mengutuk dan sangat mencela perbuatan kerusakan di muka bumi, sehingga dijelaskanlah dalam ajarannya berbagai jenis perbuatan kerusakan yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam yang mulia nan luhur. Diantara bentuk kerusakan itu adalah menumpahkan darah yang terjaga dan terlindungi -dari kalangan muslimin maupun kafir yang haram untuk dibunuh[1]-,

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Mâ`idah : 32)

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash : 4)

Di antara perbuatan kerusakan ialah mencuri harta manusia, baik milik pribadi maupun milik umum,

“Saudara-saudara Yusuf menjawab, “Demi Allah sesungguhnya kalian mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri”.” (QS. Yûsuf :73)

Menghalangi manusia ke jalan Allah termasuk perbuatan kerusakan di muka bumi,

“Dan janganlah kalian duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. Dan ingatlah di waktu dahulunya kalian berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kalian. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 86)

Menyimpang dari kebenaran setelah mengetahuinya dan mengikuti hawa nafsu juga termasuk perbuatan kerusakan,

Kemudian jika mereka berpaling (dari kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Âli Imrân : 63)

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminûn : 71)

Dan ingatlah bahwa Allah Al-‘Azîz Al-Jabbâr telah menegaskan berbagai ancaman bagi siapa yang berbuat kerusakan di muka bumi,

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Mâ`idah : 33)

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (QS. Ar-Ra’d : 25)

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS. Al-Baqarah : 204-206)

“Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan.” (QS. An-Nahl : 88)

Kemudian ketahuilah, bahwa sebab munculnya kerusakan di muka bumi adalah karena perbuatan tangan manusia sendiri,

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rûm : 41)

Dan berpaling dari perintah Allah juga merupakan sebab munculnya kerusakan di tengah manusia,

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfâl : 73)

Dan sebaliknya, mengadakan perbaikan dan kemashlahatan di suatu negeri adalah salah sebab tertolaknya bencana dan azab dari negeri tersebut,

“Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri karena kezholiman (yang mereka lakukan), sedang penduduknya orang-orang yang mengadakan kemashlahatan (perbaikan).” (QS. Hûd : 117)

Dan ketahuilah, bahwa tiada keselamatan bagi segenap hamba kecuali dengan memerangi segala bentuk perbuatan kerusakan, baik itu kerusakan pada keyakinan, kerusakan pemikiran, kerusakan aksi dan tindakan, dan sebagainya. Allah ‘Azzat Hikmatuhu menegaskan,

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Hûd : 116)

Dan Allah berfirman,

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash : 83)

Dan untuk kaum muslimin di zaman ini, kami ingatkan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Dan berkata Fir`aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabb-nya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama kalian atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS. Ghôfir : 26)

Perhatikan ayat ini dan cermatilah kandungannya secara mendalam, niscaya engkau akan mendapatkan dua pelajaran yang sangat berharga dan amat dibutuhkan di zaman ini. Dua pelajaran tersebut ialah :

Satu : Mengetahui bagaimana Fir’aun menampilkan dirinya sebagai orang yang anti kerusakan dan memberantas para pelaku kerusakan, padahal Fir’aun sendirilah yang banyak berbuat kerusakan di muka bumi sebagaimana yang telah dimaklumi. Tujuan Fir’aun menampilkan dirinya sedemikian rupa, tentunya telah diketahui, yaitu agar para pengikutnya tetap mempercayainya dan setia kepadanya. Maka jangan heran melihat tingkah Amerika, Australia dan semisalnya yang mengatakan, “Kami memerangi terorisme”, “Kami melindungi dunia dari ancaman terorisme”, padahal mereka sendiri adalah para teroris kelas kakap dan para pembunuh berdarah dingin dengan memakai sejuta slogan yang memukau lagi menipu guna meraih kepentingan-kepentingan bejat mereka. Jangan heran, itu adalah gaya klasik dan lagu lama yang mereka warisi dari nenek moyong mereka; Fir’aun dan sejenisnya.

Dua : Perhatikan bagaimana Fir’aun menuduh Nabi Musa ‘alaihissalâm sebagai orang yang menimbulkan kerusakan di muka bumi. Dan ini adalah pelajaran lain bagi kita umat Islam bahwa musuh-musuh agama dari masa dahulu senantiasa mensifatkan orang-orang yang berjalan di atas kebenaran dan istiqomah sesuai dengan tuntunan syari’at sebagai para pembuat kerusakan. Sungguh sangat menyedihkan, karena propaganda musuh-musuh agama sehingga sebagian kaum muslimin tega untuk melecehkan saudaranya yang tekun beribadah sesuai dengan tuntunan Islam yang benar. Dan sangat menyayat hati, karena ulah sebagian orang yang tidak faham hakikat dan tuntunan agama, sehingga kaum muslimin lainnya di berbagai penjuru dunia harus menjadi korban aksi-aksi mereka yang brutal dan tidak bertanggung jawab. Hendaknya seorang muslim –khususnya di masa fitnah- tidak terlalu bergampagan menjatuhkan vonis atau mendiskreditkan muslim yang lainnya kecuali kalau telah nampak secara jelas kesalahannya menurut timbangan Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Dan juga tidak pantas seorang muslim terlalu cepat termakan oleh isu-isu yang berkembang dan pemberitaan media massa yang belum tentu bisa dipertanggung-jawabkan, apalagi kalau hal tersebut datangnya dari musuh-musuh Islam,

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.” (QS. Al-An’âm : 112-113)

Wallâhul Musta’ân.

sumber : http://jihadbukankenistaan.com

Sabtu, 19 Maret 2011

NASIHAT KEPADA GENERASI ISLAM Oleh Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.

Amma ba'du
Berikut ini adalah untaian nasehat yang ditujukan kepada generasi muda Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang dituliskan dalam rangka andil dalam menunaikan kewajiban menasehati kaum muslimin, dan mendamaikan antara Ahlis Sunnah, sebagaimana yang dianjurkan dalam banyak dalil.

Yang mendorong saya merangkaikan nasehat ini, adalah fenomena yang dialami oleh banyak pemuda Ahlussunnah wal Jama'ah, di berbagai negri islam, dan bahkan di negri-negri non islam, yang dihuni oleh minoritas islam, yaitu berupa perpecahan yang besar. Perpecahan yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat dalam beberapa masalah ilmiyyah, dan sikap-sikap kongkrit dalam menghadapi sebagian orang yang berseberangan (pendapat). Fenomena ini telah menghambat laju perjuangan dakwah menuju Sunnah, dan bahkan menghalangi sebagian orang untuk mengikutinya. Padahal sebelumnya masyarakat umum diberbagai daerah dan negri, berbondong-bondong untuk mendalaminya.

Saya akan ringkaskan nasehat ini dalam beberapa poin berikut, dengan disertai harapan kepada Allah, agar melimpahkan kepadaku keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat kepada setiap orang muslim yang membacanya.

Pertama.
Adalah termasuk salah satu prinsip yang ditetapkan dalam agama Islam, bahwa setiap orang muslim sebelum ia menyibukkan dirinya dengan (kekurangan) orang lain, hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh, membenahi diri, berupaya merealisasikan keselamatan, dan menjauhkan segala hal yang akan menyebabkan kebinasaan terhadap dirinya.

Sebagaimana firman Allah

"Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran". [Al Ashr 1-3]

Allah memberitakan tentang orang-orang yang akan selamat dari kerugian, yaitu orang-orang yang terwujud pada dirinya perangai-perangai tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka merealisasikan pada diri mereka keimanan, dan amal sholeh terlebih dahulu, sebelum mereka mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. Sehingga ayat-ayat ini benar-benar telah menetapkan permasalahan ini.

Dan Allah sungguh telah mencela Bani Isra'il, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini, yaitu dengan berfirman

"Artinya : Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir?".[Al-Baqarah :44]

Oleh karena itu, hendaklah setiap pemuda senantiasa membenahi dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain, dan tatkala dirinya telah mencapai istiqomah (dalam kebaikan), kemudian ia menyatukan antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar telah meniti metode dan petunjuk ulama?salaf, dan Allah akan melimpahkan kemanfaatan dari (dakwah) nya. Dengan demikian mereka adalah para da'i menuju kepada Sunnah, melalui ucapan dan perilakunya. Dan sungguh demi Allah, metode ini merupakan kedudukan paling agung, yang bila seseorang telah berhasil mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada hari kiyamat.

Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata : "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" [Fush-Shilat :33]

Kedua.
Hendaknya diketahui, bahwa yang benar-benar dikatakan sebagai Ahlis Sunnah adalah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama islam, baik secara idiologi, ataupun perilaku.

Dan merupakan kekurang pahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis Sunnah , adalah orang yang merealisasikan Aqidah Ahlis Sunnah semata, tanpa memperdulikan segi perilaku, adab-adab yang sesuai dengan ajaran islam, dan menunaikan hak-hak sesama muslim.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada akhir kitab Al-Aqidah Al Wasithiyyah berkata: " ...Kemudian mereka (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini: Saling memerintahkan dengan yang baik, dan melarang dari yang mungkar, sesuai yang diajarkan dalam syar'at. Mereka menganjurkan untuk menunaikan ibadah haji, berjihad, mendirikan sholat jum'at, sholat 'Ied, bersama para pemimpin, baik mereka adalah pemimpin yang baik (adil) ataupun pemimpin yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan sholat berjama'ah, menjalankan tanggung jawab memberikan nasehat kepada ummat"

Mereka juga senantiasa meyakini makna sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam :

"Artinya: Permisalan (peran) Seorang mukmin terhadap seorang mukmin lain, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya".

Tatkala ditimpa cobaan (kesusahan), mereka saling memerintahkan supaya menetapi kesabaran, dan tatkala mendapatkan kelapangan, saling memerintahkan untuk bersyukur, dan tatkala ditimpa takdir yang pahit, mereka saling memerintahkan untuk berlapang dada. Mereka senantiasa menyeru kepada akhlaq-akhlaq mulia, dan amal-amal terpuji. Mereka juga meyakini makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya: Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya"

Mereka senantiasa menganjurkan, agar engkau menyambung (hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi, berbuat baik kepada tetangga.

Mereka juga senantiasa melarang dari perangai berbangga diri, sombong, melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan atau tidak.

Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlaq terpuji dan mencegah dari akhlaq tercela.

Dan setiap hal yang mereka ucapkan dan lakukan, baik dari hal-hal tersebut diatas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti Al Kitab (Al Qur'an) dan Sunnah, dan jalan hidup mereka adalah agama islam yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam?

Ketiga.
Diantara tujuan agung yang dianjurkan agama islam (untuk dicapai), ialah ; menunjuki manusia untuk menganut agama ini, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tatkala beliau mengutus sahabat Ali ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar):

"Artinya :Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah" [HR Bukhory No: 4210, dan Muslim 2406].

Oleh sebab itu, orang-orang yang telah mendapat karunia dari Allah, berupa hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) Sunnah, hendaknya bersungguh-sungguh dalam mendakwahi orang yang masih tersesat dari Sunnah, atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan pintu hati mereka agar menerima kebenaran.

Hal itu dengan cara mendakwahi mereka dengan lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berbincang-bincang kepada Nabi Musa dan Harun :

"Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut" [Thaha : 43-44]

Hendaknya mereka memanggilnya dengan julukan-julukan yang sesuai dengan kedudukannya. Sebagaimana dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menulis surat kepada Hiraql, dengan bersabda:

"Artinya: Kepada Hiraqlius, Pemimpin Romawi"

Beliau juga memberikan kunyyah kepada Abdillah bin Saba dengan Abil Habbab

Dan hendaknya mereka juga senantiasa bersabar dalam menghadapi kekerasan sikap orang yang didakwahi, dan membalasnya dengan perilaku baik, dan janganlah menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran? Allah berfirman :

"Artinya: Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka"[Al-Ahqaaf : 35]

Keempat.
Hendaknya para pelajar (Tholabatul Ilmi), terutama para da'i, dapat membedakan antara Al Mudarah dan Al Mudahanah. Karena Al Mudarah adalah suatu hal yang dianjurkan, yaitu : sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Lisanul Arab, bersikap Mudarah terhadap orang lain adalah dengan beramah-tamah kepada mereka, berhubungan dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak menjauh darimu. Sedangkan Al Mudahanah (menjilat) adalah sikap tercela, yaitu sikap (mengorbankan) agama, Allah berfirman :

"Artinya : Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). [Al Qolam : 9].

Al Hasan Al Bashry menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: "Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dihadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dihadapanmu" [Tafsir Al Baghowy 4/377].

Dengan demikian, orang yang bersikap mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun dari prinsip agamanya, sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.

Sungguh dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, merupakan figur paling baik akhlaqnya, dan paling lemah lembut terhadap umatnya, dan ini sebagai perwujudan sisi lemah lembut, dan ramah tamah dari perangai beliau. Di sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama, barang satupun, walau dihadapan siapapun, dan ini adalah perwujudan sisi keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama. Dan sisi perangai beliau ini sangat bertentangan dengan sikap mudahanah (menjilat).

Hendaknya para pelajar, memperhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan, bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain, dan berlemah lembut, sebagai tanda lemah dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Disaat yang lain, ada yang beranggapan bahwa: sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan, dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan, adalah bagian dari sikap ramah-tamah (Ar Rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini adalah, salah, dan tersesat dari kebenaran. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan dengan baik, karena kesalah pahaman pada permasalahan ini, sangat berbahaya, dan tiada yang dapat terlindung darinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah.

Kelima.
Seorang juru dakwah, dalam berdakwah kepada manusia, memiliki dua metode yang diajarkan dalam syari'at, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak dalil, yaitu: metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), dan metode hajer (memboikot/menjauhi) dan mengancam. Sehingga salah bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) kepada setiap orang.

Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka metode inilah yang disyari'atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari'atkan.

Kesimpulannya: Barang siapa yang menerapkan metode menarik simpati, terhadap orang yang selayaknya dihajer (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode hajer (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berlaku munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: (Syari'at) menghajer, berbeda-beda sejalan dengan perbedaan orang yang menerapkannya, dipandang dari kuat, tidaknya, dan sedikit, banyaknya jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajer (boikot) adalah menghardik orang yang dihajer (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat umum meninggalkan kesalahan tersebut.

Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap hajer (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah, dan sirna, maka pada saat itulah hajer (boikot) disyariatkan.

Akan tetapi bila orang yang diboikot, dan orang lainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajer (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian ini, tidak disyariatkan hajer (boikot).

Bahkan menarik simpati sebagian orang itu lebih berguna dibanding memboikotnya, dan memboikot sebagian lainnya, lebih berguna dibanding menarik simpatinya. Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik simpati sebagian orang, dan memboikot sebagian lainnya?
Yang demikian ini, sebagaimana halnya menghadapi musuh, kadang kala disyariatkan peperangan, dan kadang kala perdamaian, dan kadang kala dengan cara mengambil jizyah (upeti), semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.

Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya, tentang permasalahan ini, didasari oleh prinsip tersebut" [Majmu' Fatawa 28/206].

Beliau menjelaskan kesalahan orang yang menyama ratakan dalam menerapkan hajer (boikot) atau menarik simpati, tanpa memperhatikan prinsip tersebut diatas, dengan berkata: "Sesungguhnya sebagian orang menjadikan hal tersebut (hajer atau menarik simpati) sebagai suatu keumuman, sehingga mereka menghajer atau mengingkari orang yang tidak disyariatkan, tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja dikarenakan kesalahan ini, menyebabkannya meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, dan akibatnya ia melanggar hal-hal yang diharamkan.

[Majmu' Fatawa 28/213].

KONSEP ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

Prinsip tauhid di dalam Islam, menegaskan bahwa semua yang ada berasal dan atas izin Allah SWT. Dia-lah Allah SWT yang maha mengetahui segala sesuatu. Konsep kekuasaan-Nya juga meliputi pemeliharaan terhadap alam yang Dia ciptakan. Konsep yang mengatakan bahwa Allah SWT lah yang mengajarkan manusia disebutkan dalam Al-Quran (2:31, 55:2, 96:4-5, 2:239). Di dalam ayat lain 5:1-4 disebutkan bahwa “Dia telah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia dan mengajarinya penjelasan (bayan)”



Wahyu, yang diterima oleh semua Nabi SAW/AS berasal dari Allah SWT, merupakan sumber pengetahuan yang paling pasti. Namun, Al-Quran juga menunjukkan sumber-sumber pengetahuan lain disamping apa yang tertulis di dalamnya, yang dapat melengkapi kebenaran wahyu. Pada dasarnya sumber-sumber itu diambil dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT, asal segala sesuatu. Namun, karena pengetahuan yang tidak diwahyukan tidak diberikan langsung oleh Allah SWT kepada manusia, dan karena keterbatasan metodologis dan aksiologis dari ilmu non-wahyu tersebut, maka ilmu-ilmu tersebut di dalam Islam memiliki kedudukan yang tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang langsung diperoleh dari wahyu. Sehingga, di dalam Islam tidak ada satupun ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari bangunan epitemologis Islam, ilmu-ilmu tersebut tidak lain merupakan bayan atau penjelasan yang mengafirmasi wahyu, yang kebenarannya pasti. Di sinilah letak perbedaan epistemologi sekuler dengan epistemologi Islam.



Sumber-sumber pengetahuan lain selain yang diwahyukan langsung misalnya fenomena alam, psikologi manusia, dan sejarah. Al-Quran menggunakan istilah ayat (tanda) untuk menggambarkan sumber ilmu berupa fenomena alam dan psikologi (2:164, 42:53). Untuk sumber ilmu berupa fenomena sejarah, Al-Quran menggunakan istilah ‘ibrah (pelajaran, petunjuk) yang darinya bisa diambil pelajaran moral (12:111).



Sebagai akibat wajar dari otoritas ketuhanannya, al-Quran, di samping menunjukkan sumber-sumber pengetahuan eksternal, ia sendiri merupakan sumber utama pengetahuan. Penunjukkannya terhadap fenomena alam, peristiwa sejarah, metafisis, sosiologis, alami dan eskatologis mesti benar, apakah secara literal atau metaforis. Kaum muslimin mengambil sistem dan subsistem pengetahuan dan kebudayaan dari al-Quran. Dokumen paling otentik tentang subyek ilmu pengetahuan (di mana al-quran sebagai katalisator) dapat ditemukan dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran karya Badruddin al-Zarkasyi.



Di dalam Islam, pencarian pengetahuan oleh seseorang bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, tetapi harus, dan dianggap sebagai kewajiban bagi semua Muslim yang bertanggung jawab (hadits Nabi SAW-pen). Kedudukan ini berbeda dengan sikap skeptis Yunani dan Sophis, yang menganggap pengetahuan hanya imajinasi kosong. (Bahkan dalam agama manapun, tidak ada penghormatan, penjelasan, pendefinisian ilmu semassif Islam-pen)



Dalam bahasa Arab, pengetahuan digambarkan dengan istilah al-ilm, al-ma’rifah dan al-syu’ur. Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia merupakan salah satu sifat Allah SWT. Al-ilm berasal dari akar kata l-m dan diambil dari kata ‘alamah, yang berarti “tanda”, “simbol”, atau ”lambang”, yang dengannya sesuatu itu dapat dikenal. Tapi alamah juga berarti pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk dan gejala.. Karenanya ma’lam (amak ma’alim) berarti petunjuk jalan, atau sesuatu yang menunjukkan dirinya atau dengan apa seseorang ditunjukkan. Hal yang sama juga pada kata alam berarti rambu jalan sebagai petunjuk. Di samping itu, bukan tanpa tujuan al-Quran menggunakan istilah ayat baik terhadap wahyu, maupun terhadap fenomena alam. Pengertian ayat (dan juga ilm, alam, dan ’alama) di dalam al-Quran tersebut yang menyebabkan Nabi SAW mengutuk orang-orang yang membaca ayat 3:190-195 yang secara jelas menggambarkan karakteristik orang-orang yang berfikir, mambaca, mengingat ayat-ayat Allah SWT di muka bumi tanpa mau merenungkan (makna)nya.



Sifat penting dari konsep pengetahuan dalam al-Quran adalah holistik dan utuh (berbeda dengan konsep sekuler tentang pengetahuan). Pembedaan ini sebagai bukti worldview tauhid dan monoteistik yang tak kenal kompromi. Dalam konteks ini berarti persoalan-persoalan epistemologis harus selalu dikaitkan dengan etika dan spiritualitas. (Dalam Islam) ruang lingkup persoalan epistemologis meluas, baik dari wilayah (yang disebut) bidang keagamaan dengan wilayah-wilayah (yang disebut sekuler)., karena worlview Islam tidak mengakui adanya perbedaan mendasar antara wilayah-wilayah ini. Adanya pembedaan semacam itu akan memberi implikasi penolokan hikmah dan petunjuk Allah SWT, dan hanya memberi perhatian dalam wilayah tertentu saja. Wujud Allah SWT sebagai sumber semua pengetahuan, secara langsung meliputi kesatuan dan integralitas semua sumber dan tujuan epistemologis. Ini menjadi jelas jika kita merenungkan kembali istilah ayat yang menunjuk pada ayat-ayat al-Quran dan semua wujud di alam semesta. Konsep integralitas pengetahuan telah diuraikan al-Ghazali dalam kitabnya Jawahir al-Quran, di mana ia menegaskan bahwa ayat-ayat al-Quran yang menguraikan tentang bintang dan kesehatan, misalnya, hanya sepenuhnya dipahami masing-masing dengan pengetahuan astronomi dan kesehatan. Ibnu Rusyd dalam fasl al-maqal, juga memberikan penjelasan keterkaitan antara penafsiran keagamaan dan kefilsafatan dengan mengutip beberapa ayat al-Quran yang mendorong manusia meneliti dan menggambarkan kajian penciptaan langit dan bumi (7:185, 3:191, 88:17-18). Dengan hal yang sama, al-Quran juga mendorong manusia melakukan perjalanan di bumi untuk mempelajari nasib peradaban sebelumnya. Ini membentuk kajian sejarah, arkeologi, perbandingan agama, sosiologi dan sebagainya secara utuh.



Dalam 41:53, secara kategoris, al-Quran menegaskan bahwa ayat-ayat Allah SWT di alam semesta dan di kedalaman batin manusia merupakan bagian yang berkaitan dengan kebenaran wahyu, dan menegaskan kecocokan dan keutuhan yang saling terkait. Namun, keutuhan dan kesatuan cabang-cabang pengetahuan ini tidak berarti bahwa disiplin-disiplin itu sama, atau tidak ada prioritas diantara mereka. Pengetahuan wahyu dalam konsep Islam adalah lebih utama, unik karena berasal langsung dari Allah SWT dan memiliki manfaat yang mendasar bagia alam semesta. Semua pengetahuan lain yang benar harus membantu kita memahami dan menyadari arti dan jiwa pengetahuan Allah SWT di dalam al-Quran untuk kemajuan individu dan masyarakat.



(dirangkum dengan penyesuaian bahasa dari buku ”Konsep Pengetahuan Dalam Islam”, Wan Mohd. Nor Wan Daud, penerbit PUSTAKA BANDUNG 1997)

ulama' menurut imam ghazali

Saat ini berbicara siapa ulama jelas membuat bingung kepala. Karena tidak jarang orang yang dianggap ulama di suatu masyarakat cenderung tidak memperlihatkan keUlama-annya.



Maka dari itu, penjelasan tentang Ulama saya dapatkan waktu membaca buku karangan Imam Ghazali Ihya’ Ulumuddin yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia (menjadi Ilmu dalam perspektif Tasawuf, ini hanya satu bagian dari Ihya’ Ulumuddin). Di sini menurut Imam Ghazali ada 3 tipe ulama:



Pertama, ulama yang membakar dirinya dan umatnya. Ini adalah tipe ulama yang secara terang-terangan mengajak umatnya kepada hidup yang serba bersenang-senang, bahkan cenderung bermaksiat kepada Rabb-Nya. Tidak ada pilihan lain untuk bertaubat dan menggantikan perilaku tersebut ke arah yang lebih baik sebelum mereka semua terbakar di api neraka kelak.



Kedua, ulama yang membakar dirinya sendirinya. Yaitu tipe ulama yang bersikeras mendakwahkan agama kepada umatnya. Namun, di belakang itu dia masih belum konsekwen terhadap apa yang telah diucapkannya. Dia keras kepada umatnya., namun sangat lembek bahkan cuek terhadap keadaanya sendiri.



Ketiga, ulama yang menyelamatkan dirinya dan umatnya. Inilah tipe ulama ideal, dia menyelamatkan dirinya sendiri secara khusus dan umatnya secara umum dari api neraka. Dia terus menyeru kepada kebenaran dan kebaikan dari dien Islam, namun tidak lupa juga terus memperbaiki dirinya. Tipe yang menjadi harapan kita bersama…



Dimanakah ulama yang kita agung-agungkan berada? Atau malah dimana posisi kita sebagai umatnya? Pertanyaan yang cukup membingungkan….
Tags: islam, dakwah, renungan
Prev: AKHIR PENCARIAN
Next: Akhirnya Dia Pulang

sumber:http://zulfigitu.multiply.com

putihkan internet agar lebih berbudaya

Jangan sampai jepara ketinggalan teknologi, karena dengan aplikasi teknologi sangat membantu layanan kepada masyarakat. Jika warga Jepara suatu saat ada yang “digaruk” di Jakarta karena tidak membawa KTP jangan khawatir, karena kita sudah mempunyai layanan KTP nasional menggunakan keunggulan internet. Sehingga kalau “digaruk” tinggal dibuka saja webnya jepara, dan disana dapat dibuktikan bahwa seseorang adalah warga Jepara. Demikian dalam sambutan Bupati Jepara Drs Hendro Martojo, MM dalam kesempatan Pelatihan Internet Pesantren, Wahana Syiar digital yang digelar di Jepara pagi ini.

Keunggulan ICT juga banyak bermanfaat untuk pengembangan diri misalnya, melalui internet kita bisa membaca novel ayat-ayat cinta, ketika cinta bertasbih dan banyak lagi. Tidak usah khawatir masuk dunia internet karena internet adalah jendela dunia untuk mencari informasi bermanfaat, lanjut Martojo. Bahkan untuk menunjukkan bahwa internet itu bisa menghadirkan banyak manfaat bagi dirinya, Martojo memberikan alamat web pribadinya yang beralamat di www.hendromartojo.info.

Dalam kesempatan yang sama Rosyido Umam Aly, GM Unit Consumer Service Regional Telkom Jawa Tengah menegaskan bahwa memutihkan internet adalah merupakan Tugas kita bersama, mendidik pesantren untuk mengenal dunia ICT agar para santri dapat memberikan kontribusi positif di dunia internet. Karena saat ini magnet negative di internet masih lebih besar dibanding magnet positif. Karena itulah Telkom menggandeng Republika sebagai Koran Islam untuk ikut serta memutihkan internet.

Sejalan dengan Rosyido, manajer iklan Harian Republika Indra Wisnu Wardana mengajak para santri untuk memutihkan internet. Mengapa memutihkan internet? inilah upaya kitan untuk mengubah konotasi negtif di internet, paparnya dalam awal sambutan. Indra melanjutkan, pagi ini kawan kami dari Republika Online melalui search engine mencari data tentang porn (porno), ditemukan sebanyak 790 juta item, sedangkan kata Islam, santri, pesantren, moslem hanya ditemukan kurang lebih 300 juta item. Inilah yang menjadi penyemangat Republika dan Telkom untuk terus berupaya memutihkan internet agar lebih berbudaya. Selain nara sumber dari para pakar internet dan ICT, pelatihan yang telah menapaki tahap ke 3 angkatan pertama juga menghadirkan Blogger sukses Muhammad Rijal AR Sutadiredja dari Semarang dan Dimas Prasetyo seorang blogger tuna netra dari Jakarta.

Pelatihan yang akrab dengan sebutan Santri Indigo ini dilangsungkan di Gedung NU cabang Jepara selama dua hari (19 – 20 Maret 2011) diikuti oleh 100 santri terdiri dari 75 santri dan 25 ustad dari 30 pesantren di Jepara dan sekitarnya. Program yang mengusung tema Putihkan Internet ini merupakan program Corporate Social Responsibility (CSR) Telkom dan Republika. (Slamet Riyanto)
sumber:www.santri-indigo.blogspot.com